Beberapa waktu yang lalu saya mendapat pasien, seorang laki-laki berusia 55 tahun, bekerja di sebuah bank BUMN di bagian analis risiko dan akan pensiun tahun ini. Cuaca di luar sedang mendung saat itu. Begitu juga wajahnya. Tampak jelas ada kegalauan yang ingin diutarakan, sedangkan istrinya duduk dengan tenang di sampingnya. Sepuluh menit pertama kami berbicara tentang keluhan yang dialami, setelah melakukan pemeriksaan fisik, kami berdiskusi lagi tentang kondisi pasien yang menurut simpulan saya… tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini bukan pertemuan pertama kami. Catatan medis menunjukkan ini sudah pertemuan yang ke-4 dalam 6 bulan terakhir. Bahkan pasien ini sudah menjalani beberapa pemeriksaan penunjang yang cukup canggih.
Pasien itu kemudian menghela nafas. Dengan suaranya yang lirih beliau menyampaikan tentang usia pensiunnya yang jatuh tahun ini. Beberapa waktu yang lalu beliau dibekali tentang persiapan pensiun dari perusahaannya, di satu sisi pasien merasa cukup senang karena beban sebagai analis risiko bisa hilang dari pundaknya. Namun di sisi lain, pasien merasa belum siap untuk pensiun secara finansial. Masih ada 3 anak yang harus ditanggungnya. Memang perusahaan akan memberi dana pensiun yang bisa dimanfaatkan untuk usaha, namun ketakutan untuk memulai usaha di usia 55 tahun dengan tanggungan 3 anak mungkin menjadi beban tersendiri untuk pasien.
Terbersit dalam pikiran saya, seseorang yang bekerja di perbankkan (yang mestinya sangat dekat dengan literarasi keuangan dan pensiun) ternyata masih ada yang belum mempersiapkan diri untuk pensiun. Seorang sahabat kemudian menanggapi, “Bahkan yang kerja di kesehatan masih ada yang belum mempersiapkan kesehatan diri untuk pensiun.”
Hmm, benar juga. Pensiun bukan hanya tentang mempersiapkan dana pensiun, namun juga mempersiapkan kesehatan. Kita ingin menikmati masa pensiun dengan berkecukupan secara finansial, namun juga tetap sehat dan bahagia, kan?
Leave a Reply