Asuransi Kesehatan Untuk Dokter, Perlukah?

Cukup lama saya berpikir, menimbang, sampai pada akhirnya memutuskan untuk ikut asuransi kesehatan. Bersyukur saya punya agen asuransi yang super sabar untuk saya hujani berbagai pertanyaan sebelum saya membuat keputusan. Pada awalnya ada banyak pertimbangan kenapa saya enggan untuk punya asuransi kesehatan. Banyaknya cerita tentang nasabah asuransi yang kecewa ataupun melihat sendiri pasien-pasien yang saya tangani tagihannya harus ditolak oleh pihak asuransi membuat saya skeptis tentang asuransi kesehatan. Ketika kita melihat kasus demi kasus, ujung-ujungnya sering bermuara pada 2 hal. Pertama, nasabah asuransi tidak tahu asuransi yang dibelinya. Kedua, agen sendiri tidak paham tentang produk asuransi yang dijualnya.

Disclaimer. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak tertentu ataupun ajakan untuk membeli produk asuransi kesehatan tertentu. Tulisan ini bertujuan untuk berbagi pikiran dan pengalaman. Apabila ada hal-hal yang tidak sesuai, kolom komentar selalu terbuka untuk diskusi.

Kenali Asuransi yang Dibeli

Contoh sederhana yang bisa menggambaran 2 hal di atas adalah sebagai berikut. Seorang pasien datang ke poliklinik rawat jalan untuk masalah nyeri kepala yang dialaminya. Setelah melakukan wawancara dan pemeriksaan, dokter merasa perlu untuk melakukan pemeriksaan penunjang MRI Kepala. Pasien mengatakan memiliki asuransi dan akan bertanya dulu dengan agennya. Beberapa saat kemudian pasien mengatakan sudah menghubungi agen asuransinya dan minta untuk rawat inap agar pemeriksaan MRI dapat ditanggung oleh asuransi. Pemeriksaan MRI umumnya dapat dilakukan sambil rawat jalan dan seorang dokter pasti akan melihat ada atau tidak indikasi rawat inap pada pasien tersebut. Masalah akan muncul ketika dokter menilai tidak ada indikasi rawat inap, sedangkan pasien tetap minta rawat inap atas anjuran agen asuransi dengan iming-iming semua pemeriksaan akan ditanggung bila rawat inap.

Sering kali pasien tidak tahu yang dibelinya adalah produk asuransi “rawat inap”. Awalnya pasien berpikir, asuransinya akan mengcover segala masalah kesehatannya, baik untuk rawat inap maupun rawat jalan. Agen asuransi mestinya memberi rekomendasi yang lebih bijak, tidak mendorong pasien untuk meminta rawat inap ke dokter agar bisa ditanggung asuransi.

Asuransi = Investasi?

Agar menarik minat nasabah untuk membeli asuransi, banyak asuransi yang menggandeng unit link. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Hanya, narasi lanjutannya sering kurang tepat. Tidak lengkapnya informasi yang diberikan agen dapat menimbulkan salah persepsi. Unit link tak jauh beda dengan reksa dana. Sama-sama dikelola oleh manager investasi. Reksa dana bertujuan untuk mendapatkan untung demi mencapai tujuan finansial, sedangkan unit link adalah produk asuransi yang tujuan utamanya adalah proteksi.

Ketika kita membeli reksa dana tertentu, maka uang yang kita setorkan 100% akan digunakan untuk membeli unit dari reksa dana tersebut. Sedangkan ketika kita membayar premi asuransi, biasanya mereka sudah memiliki skema tertentu. Sebagai contoh: dalam tahun pertama hanya 20% dari premi yang disetor digunakan untuk membeli unit link, jumlah ini akan meningkat setiap tahunnnya sampai misalnya pada tahun ke-6 barulah 100% digunakan untuk membeli unit link.

Lho, rugi donk memberi unit link? Jangan lupa kalau selain keuntungan, tujuan membeli unit link adalah untuk proteksi. Hal ini tidak bisa dicover oleh reksa dana. Misal nih… ada dua orang, A dan B, sama-sama menyetorkan uang sebesar Rp 100 juta. Si A membeli reksa dana pasar uang dengan tujuan sebagai dana darurat apabila si A tiba-tiba sakit. Sedangkan si B membeli asuransi dengan unit link. Dua tahun berlalu, A dan B mengalami sakit yang sama dan membutuhkan biaya operasi Rp 500 juta. Reksa dana pasar uang si A ternyata belum cukup untuk mengcover biaya ini, sedangkan si B biaya ini tercover oleh asuransi yang dibelinya.

Calon nasabah asuransi sering disodorkan asumsi nilai investasi rendah, sedang, atau tinggi ketika akan bergabung menjadi nasabah. Ingat, tidak ada kepastian hasil investasi. Belum lagi diinfo kalau nasabah hanya perlu membayar sampai tahun tertentu tanpa menjelaskan lebih lanjut kalau setelah tahun tersebut premi dipotongkan dari nilai investasi unit link yang sudah dibayarkan. Bila ternyata imbal hasil investasinya rendah, bisa saja nilai investasinya hanya cukup untuk membayar premi dalam beberapa tahun. Ketika nasabah ingin menutup asuransinya, barulah nasabah tersebut kaget ketika nilai investasinya sudah tergerus untuk membayar premi.

Nasabah Asuransi yang Tidak Mau Rugi

Asuransi bertujuan untuk proteksi apabila terjadi risiko kesakitan atas diri kita. Kalau tidak ada risiko kesakitan, jangan justru di-ada-ada-kan.

Ada saja nasabah asuransi yang tidak mau rugi karena sudah membayar asuransi setiap bulannya. Nasabah yang masuk golongan ini ingin menggunakan asuransi untuk “general check up“. Ketika saya menuliskan general, artinya benar-benar menyeluruh dari kepala sampai ujung kaki dengan permintaan pemeriksaan penunjang yang canggih-canggih dan tidak perlu. Hal ini dapat menimbulkan masalah di kemudian hari ketika asuransinya benar-benar dibutuhkan. Ketika risiko kesakitan tidak terjadi, nasabah mestinya bersyukur diberikan kesehatan yang baik.

Jujur saja, sampai sekarang sebenernya rasa skeptis terhadap asuransi itu masih ada. Saya belum mendapatkan flexibilas mengatur tipe investasi unit link di asuransi seperti halnya di reksa dana. Bila di reksa dana (di Bibit misalnya), ketika kita melihat imbal hasil yang tidak sesuai kita bisa ganti tipe investasinya. Semua kontrol ada di kita. Full kontrol seperti itu yang belum saya lihat di sistem asuransi sekarang.

Kembali ke pertanyaan awal, “Perlu ga sih asuransi kesehatan untuk dokter?”.

Menjadi seorang dokter secara tak langsung memiliki privilege untuk mendapatkan konsultasi dan tindakan operasi gratis bila berobat ke dokter yang dikenalnya. Memang tidak ada jaminan dua hal ini akan gratis, namun setidaknya “memperlakukan teman sejawat seperti saudara kandung” adalah salah satu isi sumpah ketika dilantik menjadi seorang dokter di Indonesia. Namun biaya medis bukan hanya jasa medis dokter. Jasa medis dokter mungkin sekitar 10-20% dari total biaya yang dibayarkan ke rumah sakit. Belum lagi secara teknologi, kemajuan alat dan teknik operasi di bidang kedokteran semakin canggih yang identik dengan biaya yang semakin mahal. Hal ini yang membuat saya berpikir, mungkin ada baiknya ikut asuransi kesehatan.

Saya pribadi, lebih condong mengkategorikan uang untuk membeli asuransi sebagai expense atau pengeluaran, bukan sebagai aset investasi.

Anggap uang yang disetor adalah uang hilang. Yang kita beli apa? Rasa aman.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *