Dokter Wajib Melek Finansial

Mau sampai kapan jadi dokter?

Menjadi dokter tidak akan lepas dari siklus manusia pada umumnya… akan mengalami tua, bisa mengalami sakit, dan juga kematian. Meski seiring bertambah usia dokter biasanya akan semakin dicari karena dianggap memiliki semakin banyak pengalaman, namun pada titik tertentu juga akan mengalami penurunan secara fisik. Akan ada satu titik ketika keseimbangan antara pengetahuan dan skill mencapai puncaknya. Untuk itu, tidak cukup hanya menjadi dokter yang ada di kuadran (self)employee, dokter juga harus melek finansial dan belajar investasi.

Disclaimer dulu di awal. Saya bukanlah seorang penasehat finansial. Apa yang akan saya bagikan adalah murni pengalaman pribadi dan hasil dari membaca buku maupun artikel-artikel finansial.

Saya cukup beruntung lahir di keluarga yang berkecukupan. Apa yang menjadi kebutuhan, apalagi untuk pendidikan, akan selalu dipenuhi oleh orang tua. Anak SD membawa bekal Rp300,- di tahun 1990-an sudah sebuah kemewahan. Namun hal ini tidak lantas membuat saya menjadi anak yang boros. Sedari kecil saya selalu diajarkan untuk berhemat. Masih jelas dalam ingat saya, setiap pulang sekolah saya harus menyisihkan bekal ke sebuah celengan berbentuk kodok, yang ketika penuh barulah boleh dipecahan untuk membeli barang yang saya inginkan. Kebiasaan menabung secara rutin sedari kecil saya rasa sangat bermanfaat untuk membuat kita menjadi orang yang tidak impulsive dalam berbelanja.

Saya mulai tertarik belajar finansial ketika mulai benar-benar bekerja dan menghasilkan sebagai seorang dokter spesialis di awal tahun 2014. Saya pikir skill mengatur keuangan sangat penting dimiliki semua orang. Sebesar apapun penghasilan, kalau tidak dikelola dengan baik pada akhirnya akan habis juga. Karena belajarnya otodidak dari membaca buku, artikel-artikel finansial, dan menonton di Youtube, perjalanan tujuh tahun ini tentu ada pasang surutnya.

Menentukan Tujuan Finansial

Sebelum memulai berinvestasi, penting untuk membuat tujuan finansial. Kita kan tidak semata-mata menyimpan uang untuk dibiarkan begitu saja di instrumen investasi, kan? Uang itu harus memiliki tujuan. Untuk itu, penting membuat tujuan finansial di awal.

Saya menggunakan Piramida Finansial sebagai roadmap atau panduan dalam berinvestasi. Seperti halnya piramida yang besar di bawah dan makin kecil ke puncak, demikian pula sebaiknya kita menata finansial kita. Cash Flow yang baik dan persiapan dana darurat wajib didahuluan sebelum kita memikirkan investasi lebih lanjut.

Cash flow yang baik itu sederhananya adalah pendapatan lebih besar dari pengeluaran. Ada baiknya setiap pendapatan yang kita terima, kita sudah alokasikan untuk kantong-kantong tertentu. Rationya bisa berbeda-beda setiap orang, namun yang umum digunakan adalah hitungan 40-30-20-10. Empat puluh persen untuk konsumsi, 30% untuk investasi, 20% untuk fun, dan 10% untuk sosial.

Ketidakpastian adalah sesuatu yang pasti.

Tahap berikutnya adalah dari 30% dana investasi itu kita alokasikan untuk dana darurat terlebih dahulu. Sesuai namanya, dana darurat hanya bisa digunakan untuk kondisi darurat. Besaranya tergantung dari pengeluaran bulanan dan jumlah tanggungan.

  • Sebagai contoh, sebut saja dokter A, adalah seorang dokter yang baru merintis karirnya sebagai dokter. Bila pengeluaran bulanan Rp 10.000.000,- dan single (tidak ada tanggungan), maka cukup mempersiapkan dana darurat selama 6 bulan atau Rp 60.000.000,-.
  • Bila dokter A sudah menikah atau 1 tanggungan, sebaiknya persiapkan dana darurat selama 9 bulan atau Rp 90.000.000,-.
  • Bila sudah memiliki anak atau tanggungan lebih dari 1, sebaiknya persiapkan dana darurat selam 12 bulan atau Rp 120.000.000,-.

Dana darurat akan membuat fondasi perencanaan keuangan kita menjadi lebih kokoh karena kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Ketidakpastian adalah sesuatu yang pasti.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *